Analisis Operasi Serangan di Narathiwat, Selatan Thailand

Serangan terhadap petugas pertahanan sipil di Kantor Distrik Su-ngai Kolok, Provinsi Narathiwat, pada 8 Maret 2568 (2025) merupakan peristiwa yang memiliki implikasi signifikan terhadap masa depan perdamaian di wilayah perbatasan selatan Thailand dan utara Malaysia.
Banyak pihak enggan memastikan apakah serangan ini dilakukan oleh Barisan Revolusi Nasional (BRN), sementara yang lain mencurigai kemungkinan bahwa kejadian ini adalah “rekayasa situasi” dari kelompok dalam struktur negara yang memperoleh manfaat dari berlarutnya konflik.
Menurut laporan hasil dari analisis Tuwaedaniya Tuwaemaengae (Sekretaris Jenderal Asosiasi Perdamaian Masyarakat Sipil) di publikasi melalui laman facebook The Poligens News pada Khamis, 13/03/2025.
Dua alasan utama yang mendukung asumsi bahwa serangan ini bukan dilakukan oleh BRN adalah:
(1) BRN tidak mengklaim tanggung jawab atas insiden tersebut,
(2) adanya pengamanan ketat di jalur masuk dan keluar kota, tetapi para pelaku berhasil melakukan serangan dan melarikan diri tanpa korban di pihak mereka.
Namun, Tuwaedaniya menambahkan berdasarkan pola serangan sebelumnya yang terjadi sejak tahun 2004 hingga 2025, BRN tidak pernah secara eksplisit mengklaim keterlibatan mereka dalam serangan bersenjata. Pemerintah Thailand sendiri mengakui bahwa BRN merupakan kelompok bersenjata dengan kapasitas terbesar dalam perjuangan kemerdekaan Patani.
Sumber intelijen yang kredibel mengindikasikan bahwa serangan ini dilakukan oleh unit baru BRN yang disebut “Mini Komando.” Perencanaan dan eksekusi serangan ini menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki kapasitas operasional yang tinggi.
Motivasi BRN dalam Operasi Ini
Pertanyaan utama yang muncul adalah: apa tujuan BRN dalam operasi ini? Mengapa mereka tidak secara terbuka mengkomunikasikan maksud mereka?
Sebagai organisasi bawah tanah yang belum diakui sebagai mitra dialog oleh pemerintah Thailand, BRN tidak memiliki keleluasaan untuk menyampaikan tuntutan mereka secara terbuka. Namun, serangan ini dap irkan sebagai bentuk komunikasi keras kepada pemerintah Thailand, yang secara implisit mengakui keterlibatan BRN.
Latar Belakang Sejarah dan Tujuan BRN
BRN memiliki tujuan utama menjadikan Patani sebagai negara merdeka. Aspirasi ini berakar dari kegagalan upaya diplomasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Haji Sulong dan Tengku Mahmud Mahyiddin pada pertengahan abad ke-20. Setelah Haji Sulong menghilang secara paksa dan Tengku Mahmud Mahyiddin meninggal pada tahun 1954, kelompok ulama dan intelektual Melayu Patani mendirikan BRN pada 13 Maret 1960.
Sejak saat itu, BRN mengadopsi strategi perlawanan bersenjata karena mereka terus-menerus mengalami represi dari pemerintah Thailand. Hingga saat ini, mereka masih dianggap sebagai kelompok pemberontak dan bukan sebagai entitas politik yang sah dalam negosiasi damai.
Implikasi Politik dan Strategi BRN
Jika Thailand mengakui BRN sebagai mitra perundingan resmi, kelompok ini mungkin akan bersedia untuk menerima solusi politik yang lebih moderat. Namun, kebijakan pemerintah Thailand yang masih berfokus pada pendekatan militer, seperti pemberlakuan darurat militer dan undang-undang keamanan, mempersempit ruang bagi solusi politik.
Dari perspektif BRN, mereka harus terus berjuang untuk menembus kebijakan negara Thailand yang menutup peluang negosiasi politik. Salah satu strategi yang mereka anggap efektif adalah meningkatkan intensitas konflik sehingga menarik perhatian kekuatan besar internasional. BRN mungkin berharap bahwa kekuatan besar akan bertindak sebagai mediator dalam konflik ini dan memaksa Thailand mengakui mereka sebagai pihak yang sah dalam perundingan.
Dalam konteks geopolitik, jika Patani memperoleh status otonomi atau bahkan kemerdekaan, hal ini dapat memberikan keuntungan strategis bagi negara seperti Amerika Serikat dalam persaingannya dengan China di kawasan Asia-Pasifik.
Kesimpulan
Serangan di Su-ngai Kolok mungkin merupakan bagian dari strategi jangka panjang BRN untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Thailand dan menarik perhatian kekuatan internasional. BRN tampaknya ingin mengubah konflik ini dari yang “dapat dikendalikan negara” menjadi “di luar kendali negara,” sehingga membuka peluang intervensi internasional.
Serangan ini juga terjadi dalam konteks perundingan damai yang buntu, dengan BRN diduga mengajukan syarat gencatan senjata selama Ramadan dengan imbalan pembebasan tahanan politik. Ketidaksepakatan dalam negosiasi ini mungkin menjadi salah satu faktor pemicu serangan ini.
Dari perspektif strategis dan taktis, serangan ini menunjukkan pergeseran dalam pola operasi BRN dan eskalasi dalam dinamika konflik di wilayah Patani.
Rep: Paisul Leengaedayee (Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam)
0 Comments