4 Pesan di balik Serangan di Patani selama Ramadan

Meningkatnya eskalasi serangan di Patani selama Ramadan bukan sekadar peristiwa acak, melainkan respons terhadap dinamika politik yang semakin memanas. Tahun ini, kemungkinan besar ada empat faktor utama yang memicu gelombang serangan besar di wilayah tersebut: stagnasi proses perundingan antara Pemerintah Thailand (RTG) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN), represi terhadap aktivis Melayu Raya, kegagalan pemerintah dalam merespons tawaran Ramadan Damai, serta kunjungan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra ke wilayah Patani, selatan Thailand.
- Stagnasi Perundingan: Jalan Buntu yang Membakar Situasi
Rundingan damai di Patani terhenti terutama karena perubahan pemerintahan di Thailand, ketidakjelasan sikap pemerintah, dan ketidaksepakatan dalam kerangka roadmap perdamaian. Setelah pemilu 2023, pemerintahan baru di bawah Srettha Thavisin mengevaluasi ulang kebijakan terhadap konflik Patani, kemudian dilanjutkan Paethongtarn Shinawatra yang menyebabkan jeda dalam proses dialog. Selain itu, meskipun ada upaya negosiasi yang difasilitasi oleh Malaysia, pemerintah Thailand tampak kurang memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan konflik secara politik. Militer tetap memegang kendali atas kebijakan keamanan, sehingga pendekatan terhadap Patani masih berbasis militeristik daripada dialog politik.
Di sisi lain, dalam negosiasi awal 2024, perbedaan pandangan mengenai roadmap perdamaian juga menjadi penghambat. Barisan Revolusi Nasional (BRN) mengajukan tuntutan. Konsultasi publik oleh BRN harus dijalankan secara serentak dengan kegiatan pengurangan tindakan bersenjata dan Thailand harus penguluarkan pernyataan imunitas secara tertulis bagi tokoh konsultansi publik BRN, sementara pemerintah Thailand bardalih gencatan senjata harus didahulukan dan akan dilanjut ke tahap-tahap seterusnya. Ketidaksepakatan ini semakin memperburuk hubungan kedua belah pihak dan memperlambat proses perundingan. Tanpa adanya langkah konkret untuk membangun kepercayaan dan komitmen yang lebih jelas dari kedua belah pihak, prospek perdamaian di Patani masih penuh ketidakpastian.
Ketidakjelasan arah perundingan ini menciptakan tekanan di kalangan pejuang, yang kemudian melihat eskalasi serangan sebagai cara untuk menegaskan bahwa mereka masih memiliki daya tawar di medan perundingan. Serangan selama Ramadan juga bisa diartikan sebagai peringatan bagi pemerintah Thailand bahwa tanpa komitmen yang jelas terhadap solusi politik, perlawanan bersenjata akan terus berlanjut.
- Represi terhadap Aktivis Melayu Raya: Menekan Ruang Sipil, Memperbesar Perlawanan
Pemerintah Thailand tidak hanya mengabaikan pendekatan damai, tetapi juga semakin menekan ruang ekspresi identitas Melayu Patani. Gerakan Melayu Raya, yang berfokus pada penguatan budaya dan moral pemuda Patani, beberapa pimpinan menghadapi jeratan hukum dan dituduh sebagai partisan pejuang bersenjata.
Para pemimpin NGO yang aktif dalam gerakan ini mengalami intimidasi, propaganda buruk yang diduga dari operasi informasi militer, menjerat mereka agar lebih sibuk mengurus proses hukum dan tertinggal urusan sosial. Bagi kelompok pejuang, represi terhadap aktivis sipil adalah sinyal bahwa Bangkok tidak berniat memberikan ruang bagi ekspresi politik dan budaya masyarakat Patani.
Dengan menekan gerakan sipil, pemerintah Thailand justru membuka jalan bagi kelompok bersenjata untuk mengambil alih perlawanan. Kekerasan yang meningkat selama Ramadan bisa dianggap sebagai respons langsung terhadap penutupan ruang demokrasi ini, sekaligus pesan bahwa perjuangan BRN di Patani tidak hanya berada di meja perundingan, tetapi juga mampu mengendalikan di lapangan.
- Penolakan terhadap Tawaran Ramadan Damai: Peluang yang Terbuang
Seperti tahun-tahun sebelumnya, BRN kembali menawarkan beberapa syarat gencatan senjata selama Ramadan sebagai bagian dari upaya membangun kepercayaan yang diinginkan pemerintah Thailand.
- Pembebasan tahanan dari kelompok BRN.
- Mengurangi durasi gencatan senjata menjadi 15 hari.
- Menunjuk tim ahli internasional untuk mengawasi perjanjian gencatan senjata.
- Mengizinkan organisasi NGO di wilayah tersebut untuk berperan dalam proses ini.
Namun, Wakil Perdana Menteri Phumtham Wechayachai menolak semua tuntutan tersebut dan memaksa BRN melakukan gencatan senjata sepihak, di saat yang sama, pemerintah tetap melanjutkan operasi militer di wilayah selatan atau Patani.
Penolakan ini memperkuat persepsi bahwa Bangkok tidak memiliki itikad baik dalam mencapai solusi damai. Jika pemerintah Thailand serius ingin meredam konflik, seharusnya mereka memanfaatkan momentum Ramadan sebagai ajang membangun kepercayaan, bukan sebaliknya, melanjutkan pendekatan militer yang justru memperpanjang siklus kekerasan.

Phumtham Wechayachai: Foto Bangkok Post
- Kunjungan Thaksin: Pukulan Politik yang Membakar Situasi
Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, melakukan kunjungan ke wilayah selatan Thailand pada Februari lalu, dalam kapasitasnya sebagai penasihat informal bagi ketua ASEAN. Langkah ini dianggap sebagai manuver politik untuk memperkuat pengaruhnya di tingkat nasional dan regional.
Namun, bagi kelompok pejuang Patani, kehadiran Thaksin di wilayah mereka membawa luka lama. Selama masa jabatannya, Thaksin dikenal dengan kebijakan kerasnya terhadap Patani, termasuk peristiwa Tak Bai 2004 yang menewaskan 78 orang Muslim Patani akibat tindakan brutal mliter.
Meskipun Thaksin meminta maaf atas insiden tersebut, permintaan maafnya dianggap sebagai bagian dari strategi politik, bukan kesungguhan untuk menegakkan keadilan bagi para korban. di saat yang sama, Thaksin mempromosi mengenai penanganan konflik dibutuhkkan waktu 1 tahun dan akan mengunakan pendekatan pemberantasan komunis 66/23.
Kebijakan ini berakar dari Perintah No. 66/2523 (1980) yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Prem Tinsulanonda. Perintah ini menandai perubahan besar dalam strategi kontra-pemberontakan Thailand, yang sebelumnya mengandalkan pendekatan militer keras, menjadi pendekatan yang lebih berfokus pada rekonsiliasi dan pembangunan.
Prinsip Utama Kebijakan 66/23:
- Pendekatan Damai dan Rekonsiliasi – Alih-alih hanya menggunakan kekuatan militer, pemerintah mulai menawarkan amnesti kepada anggota Partai Komunis Thailand (PKT) yang menyerah.
- Pembangunan Ekonomi dan Sosial – Untuk mengatasi akar penyebab pemberontakan, pemerintah meningkatkan program pembangunan pedesaan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengurangi kesenjangan sosial.
- Integrasi Mantan Pemberontak – Mantan anggota PKT diberi kesempatan untuk bergabung kembali ke masyarakat dengan jaminan tidak akan dihukum jika mereka meninggalkan perjuangan bersenjata.
- Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri – Thailand memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangganya, termasuk China, yang sebelumnya mendukung gerakan komunis di Asia Tenggara.
Pendekatan ini terbukti berhasil, karena pada akhir 1980-an, gerakan komunis di Thailand melemah secara signifikan, dan banyak anggotanya beralih ke kehidupan sipil. Strategi ini sering dianggap sebagai contoh sukses dalam menyelesaikan konflik internal melalui kombinasi kebijakan keamanan dan rekonsiliasi sosial.

Mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra. ANTARA/Reuters/Athit Perawongmetha.
Kekerasan yang meningkat selama Ramadan bisa dianggap sebagai respons terhadap kunjungan ini sebagai pengingat bahwa konflik di Patani tidak bisa diselesaikan hanya dengan retorika, tetapi dengan kebijakan nyata yang mengakui hak-hak masyarakat Patani.
Serangan hebat selama Ramadan tahun ini bukanlah kebetulan, tetapi bagian dari dinamika politik yang lebih besar. Stagnasi perundingan, represi terhadap aktivis Melayu Raya, kegagalan pemerintah dalam merespons tawaran damai, serta kunjungan Thaksin yang kontroversial menjadi faktor utama yang memicu eskalasi kekerasan.
Selama pemerintah Thailand tetap mempertahankan pendekatan represif dan mengabaikan solusi politik yang adil, konflik di Patani akan terus menciptkan ketegangan dan kekerasan. Jika pemerintah benar-benar ingin menghentikan siklus ini, maka solusi politik yang bermakna dan komitmen nyata terhadap hak-hak masyarakat Patani harus menjadi prioritas utama.
Penulis: Paisul Leengaeddayee (Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam)